Sebuah hadits yg bersumber
dari Al Ghazali, Minhajul Abidin,
dan Bidayatul Hidayah.
Oleh DHB Wicaksono
Dengan atas asma Allah Yang
Pemurah dan Penyayang
Ibnu Mubarak menceritakan
bahwa Khalid bin Ma’dan berkata
kepada Mu’adz, “Mohon Tuan
ceritakan hadits Rasulullah
sallAllahu ‘alayhi wasallam yang
Tuan hafal dan yang Tuan
anggap paling berkesan. Hadits
manakah menurut Tuan?
Jawab Mu’adz, “Baiklah, akan
kuceritakan.”
Selanjutnya, sebelum bercerita,
beliau pun menangis. Beliau
berkata, “Hmm, Betapa rindunya
diriku pada Rasulullah, ingin
rasanya diriku segera bertemu
dengan beliau.”
Kata beliau selanjutnya, “Tatkala
aku menghadap Rasulullah
sallAllahu ‘alayhi wasallam, beliau
menunggang unta dan
menyuruhku agar naik di
belakang beliau. Kemudian
berangkatlah kami dengan
berkendaraan unta itu.
Selanjutnya beliau menengadah
ke langit dan bersabda:
Puji syukur ke hadirat Allah Yang
Berkehendak atas makhluk-Nya,
ya Mu’adz!
Jawabku, “Ya Sayyidi l-Mursalin”
Beliau kemudian berkata,
‘Sekarang aku akan mengisahkan
satu cerita kepadamu. Apabila
engkau menghafalnya, cerita itu
akan sangat berguna bagimu.
Tetapi jika kau menganggapnya
remeh, maka kelak di hadapan
Allah, engkau pun tidak akan
mempunyai hujjah (argumen).
Hai Mu’adz! Sebelum
menciptakan langit dan bumi,
Allah telah menciptakan tujuh
malaikat. Pada setiap langit
terdapat seorang malaikat
penjaga pintunya. Setiap pintu
langit dijaga oleh seorang
malaikat, menurut derajat pintu
itu dan keagungannya.
Dengan demikian, malaikat pula-
lah yang memelihara amal si
hamba. Suatu saat sang Malaikat
pencatat membawa amalan sang
hamba ke langit dengan kemilau
cahaya bak matahari.
Sesampainya pada langit tingkat
pertama, malaikat Hafadzah
memuji amalan-amalan itu.
Tetapi setibanya pada pintu
langit pertama, malaikat penjaga
berkata kepada malaikat
Hafadzah:
“Tamparkan amal ini ke muka
pemiliknya. Aku adalah penjaga
orang-orang yang suka
mengumpat. Aku diperintahkan
agar menolak amalan orang yang
suka mengumpat. Aku tidak
mengizinkan ia melewatiku
untuk mencapai langit
berikutnya!”
Keesokan harinya, kembali
malaikat Hafadzah naik ke langit
membawa amal shaleh yang
berkilau, yang menurut malaikat
Hafadzah sangat banyak dan
terpuji.
Sesampainya di langit kedua (ia
lolos dari langit pertama, sebab
pemiliknya bukan pengumpat),
penjaga langit kedua berkata,
“Berhenti, dan tamparkan
amalan itu ke muka pemiliknya.
Sebab ia beramal dengan
mengharap dunia. Allah
memerintahkan aku agar amalan
ini tidak sampai ke langit
berikutnya.” Maka para malaikat
pun melaknat orang itu.
Di hari berikutnya, kembali
malaikat Hafadzah naik ke langit
membawa amalan seorang
hamba yang sangat memuaskan,
penuh sedekah, puasa, dan
berbagai kebaikan, yang oleh
malaikat Hafadzah dianggap
sangat mulia dan terpuji.
Sesampainya di langit ketiga,
malaikat penjaga berkata:
“Berhenti! Tamparkan amal itu
ke wajah pemiliknya. Aku
malaikat penjaga kibr
(sombong). Allah
memerintahkanku agar amalan
semacam ini tidak pintuku dan
tidak sampai pada langit
berikutnya. Itu karena salahnya
sendiri, ia takabbur di dalam
majlis.”
Singkat kata, malaikat Hafadzah
pun naik ke langit membawa
amal hamba lainnya. Amalan itu
bersifat bak bintang kejora,
mengeluarkan suara gemuruh,
penuh dengan tasbih, puasa,
shalat, ibadah haji, dan umrah.
Sesampainya pada langit
keempat, malaikat penjaga langit
berkata:
“Berhenti! Popokkan amal itu ke
wajah pemiliknya. Aku adalah
malaikat penjaga ‘ujub (rasa
bangga terhadap kehebatan diri
sendiri) . Allah memerintahkanku
agar amal ini tidak melewatiku.
Sebab amalnya selalu disertai
‘ujub.”
Kembali malaikat Hafadzah naik
ke langit membawa amal hamba
yang lain. Amalan itu sangat baik
dan mulia, jihad, ibadah haji,
ibadah umrah, sehingga
berkilauan bak matahari.
Sesampainya pada langit kelima,
malaikat penjaga mengatakan:
“Aku malaikat penjaga sifat
hasud(dengki) . Meskipun
amalannya bagus, tetapi ia suka
hasud kepada orang lain yang
mendapat kenikmatan Allah swt.
Berarti ia membenci yang
meridhai, yakni Allah. Aku
diperintahkan Allah agar amalan
semacam ini tidak melewati
pintuku.”
Lagi, malaikat Hafadzah naik ke
langit membawa amal seorang
hamba. Ia membawa amalan
berupa wudhu’ yang sempurna,
shalat yang banyak, puasa, haji,
dan umrah. Sesampai di langit
keenam, malaikat penjaga
berkata:
“Aku malaikat penjaga rahmat.
Amal yang kelihatan bagus ini
tamparkan ke mukanya. Selama
hidup ia tidak pernah
mengasihani orang lain, bahkan
apabila ada orang ditimpa
musibah ia merasa senang. Aku
diperintahkan Allah agar amal ini
tidak melewatiku, dan agar tidak
sampai ke langit berikutnya.”
Kembali malaikat Hafadzah naik
ke langit. Dan kali ini adalah
langit ke tujuh. Ia membawa
amalan yang tak kalah baik dari
yang lalu. Seperti sedekah, puasa,
shalat, jihad, dan wara’. Suaranya
pun menggeledek bagaikan petir
menyambar-nyambar, cahayanya
bak kilat. Tetapi sesampai pada
langit ke tujuh, malaikat penjaga
berkata:
“Aku malaikat penjaga sum’at
(sifat ingin terkenal).
Sesungguhnya pemilik amal ini
menginginkan ketenaran dalam
setiap perkumpulan,
menginginkan derajat tinggi di
kala berkumpul dengan kawan
sebaya, ingin mendapatkan
pengaruh dari para pemimpin.
Aku diperintahkan Allah agar
amal ini tidak melewatiku dan
sampai kepada yang lain. Sebab
ibadah yang tidak karena Allah
adalah riya. Allah tidak menerima
ibadah orang-orang yang riya.”
Kemudian malaikat Hafadzah
naik lagi ke langit membawa
amal dan ibadah seorang hamba
berupa shalat, puasa, haji, umrah,
ahlak mulia, pendiam, suka
berdzikir kepada Allah. Dengan
diiringi para malaikat, malaikat
Hafadzah sampai ke langit
ketujuh hingga menembus hijab-
hijab (tabir) dan sampailah di
hadapan Allah. Para malaikat itu
berdiri di hadapan Allah. Semua
malaikat menyaksikan amal
ibadah itu shahih, dan
diikhlaskan karena Allah.
Kemudian Allah berfirman:
“Hai Hafadzah, malaikat pencatat
amal hamba-Ku, Aku-lah Yang
Mengetahui isi hatinya. Ia
beramal bukan untuk Aku, tetapi
diperuntukkan bagi selain Aku,
bukan diniatkan dan diikhlaskan
untuk-Ku. Aku lebih mengetahui
daripada kalian. Aku laknat
mereka yang telah menipu orang
lain dan juga menipu kalian (para
malaikat Hafadzah). Tetapi Aku
tidak tertipu olehnya. Aku-lah
Yang Maha Mengetahui hal-hal
gaib. Aku mengetahui segala isi
hatinya, dan yang samar tidaklah
samar bagi-Ku. Setiap yang
tersembunyi tidaklah
tersembunyi bagi-Ku.
Pengetahuan- Ku atas segala
sesuatu yang telah terjadi sama
dengan pengetahuan- Ku atas
segala sesuatu yang belum
terjadi. Pengetahuan- Ku atas
segala sesuatu yang telah lewat
sama dengan yang akan datang.
Pengetahuan- Ku atas segala
yang telah lewat sama dengan
yang akan datang. Pengetahuan-
Ku atas orang-orang terdahulu
sama dengan pengetahuan- Ku
atas orang-orang kemudian.
Aku lebih mengetahui atas
sesuatu yang samar dan rahasia.
Bagaimana hamba-Ku dapat
menipu dengan amalnya. Mereka
mungkin dapat menipu sesama
makhluk, tetapi Aku Yang
Mengetahui hal-hal yang gaib.
Aku tetap melaknatnya…!”
Tujuh malaikat di antara tiga ribu
malaikat berkata, “Ya Tuhan,
dengan demikian tetaplah laknat-
Mu dan laknat kami atas
mereka.”
Kemudian semua yang berada di
langit mengucapkan, “Tetaplah
laknat Allah kepadanya, dan
laknatnya orang-orang yang
melaknat.”‘
Sayyidina Mu’adz (yang
meriwayatkan hadits ini)
kemudian menangis tersedu-
sedu. Selanjutnya berkata, “Ya
Rasulallah, bagaimana aku bisa
selamat dari semua yang baru
engkau ceritakan itu?”
Jawab Rasulullah, “Hai Mu’adz,
ikutilah Nabimu dalam masalah
keyakinan (keimanan).”
Tanyaku (Mu’adz), “Engkau
adalah Rasulullah, sedang aku
hanyalah Mu’adz bin Jabal.
Bagaimana aku bisa selamat dan
terlepas dari bahaya tersebut?”
Berkatalah Rasulullah sallAllahu
‘alayhi wasallam, “Memang
begitulah, bila ada kelengahan
dalam amal ibadahmu. Karena
itu, jagalah mulutmu jangan
sampai menjelekkan orang lain,
terutama kepada sesama ulama.
Ingatlah diri sendiri tatkala
hendak menjelekkan orang lain,
sehingga sadar bahwa dirimu
pun penuh aib. Jangan menutupi
kekurangan dan kesalahanmu
dengan menjelekkan orang lain.
Janganlah mengorbitkan dirimu
dengan menekan dan
menjatuhkan orang lain. Jangan
riya dalam beramal, dan jangan
mementingkan dunia dengan
mengabaikan akhirat. Jangan
bersikap kasar di dalam majlis
agar orang takut dengan
keburukan akhlakmu. Jangan
suka mengungkit-ungkit
kebaikan, dan jangan
menghancurkan pribadi orang
lain, kelak engkau akan dirobek-
robek dan dihancurkan anjing
Jahannam, sebagaiman firman
Allah dalam surat An-Naziat ayat
2.”
Tanyaku selanjutnya, “Ya
Rasulallah, siapakah yang bakal
menanggung penderitaan
seberat itu?”
Jawab Rasulullah sallAllahu ‘alayhi
wasallam, “Mu’adz, yang aku
ceritakan tadi akan mudah bagi
mereka yang dimudahkan Allah.
Engkau harus mencintai orang
lain sebagaimana engkau
menyayangi dirimu. Dan bencilah
terhadap suatu hal sebagaimana
kau benci bila itu menimpa
dirimu. Jika demikian engkau
akan selamat.”
Khalid bin Ma’dan meriwayatkan,
“Sayyidina Mu’adz sering
membaca hadits ini seperti
seringnya membaca Al-Qur’an,
dan mempelajari hadits ini
sebagaimana mempelajari Al-
Qur’an di dalam majlis.”
Wallohu a’lam
Sumber : ATIM
Kategori Kategori: : Artikel Artike
No comments:
Post a Comment